Friday 7 October 2016

HAPUS UJI KOMPENTENSI? SEJAHTERAKAN PERAWAT...

Saya bukan orang yang aktif sekali di sosial media jika itu diukur dari seberapa sering buat status dan membagikan foto. Tapi hampir semua sosial media saya punya, mulai dari facebook, twitter, instagram dan path. Sosial media saya gunakan hanya untuk terhubung dengan teman-teman serta mendapatkan informasi yang dibagikan teman atau lewat grup.

Di facebook saya bergabung di sebuah grup perawat. Niatnya sih mau menambah ilmu, berhubung saya kan mengabdi di pendidikan bukan pelayanan. Siapa tahu ada update ilmu terbaru, jadi bisa menambah ilmu. Alhamdulillah, cukup banyak info yang bermanfaat. Mulai dari info lowongan kerja, teman-teman yang membagikan pengalamannya, atau sekedar diskusi bermanfaat lainnya.

Dari sekian banyak postingan di grup tersebut, tidak sedikit pula yang curhat masalah kesejahteraan. Masalah gaji kecil, saya rasa kita sudah tahu sama tahu lah. Kalau berstatus "honorer" atau "mengabdi" itu syukur-syukur kalau di bayar. Ada juga yang curhat masalah uji kompetensi dan STR perawat. Ada yang bilang, kok harus uji lagi? Kita kan sudah wisuda, sudah kuliah lama, sudah pegang ijazah. Kok masih diragukan? Uji kompetensi dan STR menghambat cari kerja. Belum lagi perpanjangannya yang harus punya 25 SKP dalam 5 tahun. Pokoknya, beberapa orang tersebut "nyinyir" sekali terhadap Uji Kompetensi dan STR kalau menurut saya. Bahkan ada beberapa yang berkomentar "PPNI nyusahin niihh!!!" Intinya seperti itu.

Jujur saya merasa gemes-gemes sebel juga sih sama komentar-komentar itu (maaf yaa, mungkin akan ada yang tersinggung). Pertama, salah alamat kalau minta PPNI menghapua Uji Kompetensi, yang buat peraturan bukan PPNI bapak/ibu sekalian. Melainkan Kementerian Kesehatan yang tercantum dalam PERMENKES RI NO. 46 TAHUN 2013 TENTANG REGISTRASI TENAGA KESEHATAN. Bukan cuma tenaga keperawatan saja, tapi semua tenaga kesehatan itu perlu di registrasi dan untuk mendapatkan yang namanya STR harus uji kompetensi. Ya apa tidak malu kalau profesi keperawatan sendiri yang teriak-teriak tidak mau uji kompetensi?

Selain itu, saya merasa uji kompetensi ini baik tujuannya. Yaitu, untuk menyaring tenaga kesehatan (termasuk di dalamnya Perawat) yang benar-benar berkompeten. Muncullah kemudian statement "Loh kok? Kita kan udah kuliah bertahun-tahun! kurang apa coba?" Kalau menurut saya, kuliah bertahun-tahun di tambah praktek di lapangan (dengan status mahasiswa) bukan jaminan bahwa setelah di wisuda lantas layak turun di lapangan kesehatan yang sesungguhnya. Banyak loh, yang kuliahnya cuma asal datang, lulus karena nyontek, skripsi dibuatin, praktek lapangan cuma asal lewatin stase, ngerjain tugas tapi tidak ada yang tersangkut ilmunya diotak dan dihati.

Bukan mau sombong, mentang-mentang saya sudah pegang STR. Tapi kalau diperhatikan, teman-teman saya yang belum lulus uji kompetensi ya bisa di bilang memang karekteristiknya seperti itu. Kuliah dan praktek asal lewat. Sedangkan yang benar-benar serius dan melewati setiap stase dengan sungguh-sungguh, Alhamdulillah kami lulus dalam sekali ujian. Dan ada juga yang setelah 2 kali ujian. Semua sesuai usaha dan do'a masing-masing. Allah Maha Melihat usaha dan Maha Mendengar setiap do'a-do'a hamba-Nya.

Kemudian yang jadi permasalahan lagi adalah setelah 5 tahun, STR harus diperpanjang dengan salah satu syarat memiliki 25 SKP yang dirasa memberatkan. Salah satu untuk mendapatkan SKP adalah seminar. Ini lagi yang jadi ketidaksetujuan beberapa teman sejawat. Seminar dianggap cuma mempersulit karena harus bayar yang di rasa mahal, padahal beberapa teman sejawat keuangannya belum stabil (sama lah kayak saya, hehehe).

Mungkin ini juga karena kurang informasi. Seminar bukan satu-satunya cara mendapatkan SKP. Kerja di pelayanan itu sudah dapat SKP juga loh. Dan bikin asuhan keperawatan, lengkap kemudian di print itu ada SKPnya juga (Kemudian di grup ada lagi yang komentar, ngeprint kan bayar. Maa Sya ALLAH. *ngelus dada saya* Hehehehe). Intinya, 25 SKP dalam 5 tahun itu rasanya bisa kok tercapai. Saya yang tidak di pelayanan saja optimis dan mulai rajin ikut seminar. Masa yang sudah di pelayanan dengan segala kemudahannya tidak bisa.

Seminar ini jangan cuma mau SKPnya saja kawan. Yang penting sertifikat tapi tidak menghadiri seminarnya. Dengan mengikuti seminar itu kita bisa upgrade ilmu, bertemu teman sejawat dan menunjukkan eksistensi perawat di bidang kesehatan (cieeeee...)

Kemudian, perawat yang curhat masalah kesejahteraan. Ini sudah jadi cerita basi di antara kita sebenarnya. Kita sudah tahu sama tahu lah gimana gaji perawat. Kalau iming-iming materi terjun ke dunia keperawatan, jangan terlalu berharap. Saya juga tidak bisa komentar banyak masalah ini. Saya mending curhat ke ALLAH biar rezeki saya dicukupkan. Kalau curhat ke Kemenkes juga kan belum tentu sampai dan belum tentu didengar.

Kalau merasa mendapat gaji tidak layak di rumah sakit atau puskesmas, tinggal ambil keputusan. Tetap disitu atau cari pekerjaan lain. Saya sendiri memilih usaha lain ketimbang mengabdi tanpa gaji. Mending jualan apa saja yang penting halal. Mungkin, akan ada yang mencibir. Terserah ini pilihan saya. Bukan berarti saya akan berhenti dari profesi keperawatan. Saya mencari tempat yang "layak" sembari mengumpulkan dana untuk nanti buka praktik mandiri keperawatan sambil terus belajar. Berhenti mengeluh, segera bertindak, semangat dan berdo'a. Itu pilihan saya.

Semangat Perawat Indonesia.

No comments:

Post a Comment